Jalan Terakhir


Kuseret langkahku yang kian lemas menyusuri jalan setapak di pinggir hutan yang berada di sebelah Barat kampung suamiku, kampung Lestari. Kamil yang kugendong masih tertidur pulas. Menatap kelucuan dan kemungilannya, hatiku pedih teriris. Mana dia tahu apa yang sedang terjadi saat ini, sungguh…buah kasih kami ini belum mengerti apa-apa.
Kamil menggeliatkan tubuhnya. Basah…..Dia pipis rupanya. Kain penggendong yang memang sudah basah kena air kencing sejak tadi kembali basah. Sabar,ya Nak… Sabarlah sayang Mamak sedang berjuang membawamu jauh-jauh dari segala malapetaka ini. Walaupun kita dengan terpaksa meninggalkan mayat Bapakmu yang menjadi korban gara-gara ingin menolong orang-orang kampung mengungsi.
Sungguh tak mampu kumengerti. Apa dosa suamiku, hingga mereka menganggap dia sebagai manusia laknat yang patut dibunuh.
Bagiku …. .kematian bang Wahab adalah sebuah kesyahidan sejati. Dia adalah seorang penyeru kebaikan lewat corong-corong masjid. Dia penegak kebenaran dan senantiasa istiqomah dalam memegang prinsipnya, memilih menjadi Ustadz dan hidup sederhana. Menghindari kehidupan mewah yang sebenarnya kami mampu untuk menikmatinya. Kelebihan kami selalu jadi penutup kekurangan orang lain. Dia kuat… Kuat sekali. Hingga tanpa kehadirannya, aku menjadi sangat cengeng. Walaupun kami dulu sama-sama santri di Pesantren Hidayatullah Balikpapan, tetap saja ketergantunganku akan kehadirannya tak dapat kuelakkan. Aku masih ingat, bagaimana dulu aku dijodohkan dengan Bang Wahab. Pertama kali aku melihat wajah Bang Wahab adalah saat akad nikah. Karena kami memang belum saling kenal.
Aku hampir tak percaya saat kabar itu datang demikian mendadak. Kerusuhan! Pembantaian! Mula-mula kampung sebelah, dan menjalar ke kampung kediaman kami. Ketika itu suamiku memberikan surat dari julak yang ia terima dari seorang kurir. Isi surat itu menyuruh kami untuk secepatnya pergi dari kampung sebelum tiba giliran kami yang dibunuh.
Ah! Berat aku melepaskan suamiku yang memilih untuk membantu tetangga lain yang tak berdaya untuk mengungsi ke tempat yang aman.
"Tak sanggup aku meninggalkan mereka yang terancam begitu saja, pergilah kamu duluan. Aku harus menolong mereka, Timah." jelasnya saat aku sudah bersiap akan berangkat dan mengajaknya pergi juga.
"Bang…"
Bang Wahab menatapku tajam. Digendongnya Kamil sejenak. Ditatapinya bayi mungil itu dengan pandangan haru. Mata bening Kamil menatap Bapaknya dengan pandangannya yang lugu tanpa mengerti apa yang sedang kami rasakan. Bang Wahab mencium kedua pipi Kamil dengan penuh kasih sayang, barulah kemudian diserahkannya kepadaku.
"Pergilah…" ucapnya tegas padaku. Lalu matanya beralih kepada Kamil, ia tersenyum dan berkata sambil mengelus kepala Kamil, "Jadi anak yang sholeh ya Kamil? Jaga Mamakmu baik-baik. Insya Allah kita akan berkumpul lagi." Sebagai jawabnya Kamil terkekeh lucu. Mataku tergenang air.
Didorongnya tubuhku menuju pintu belakang. Hatiku memang berat dan sangat sedih harus berpisah dengannya. Kutahu dia pun sama saat tangannya mengelus kepalaku dengan gemetar. Air mataku berlinangan.
"Sudah, lekaslah! Jangan membuang waktu, nanti julak-mu lama menunggu!" Ujarnya lirih namun tegas. Aku tahu dia menekan perasaannya. Aku tahu ini semua dilakukannya demi orang-orang kampung yang tak berdosa.
Menyadari hal itu akupun berusaha menguatkan hati untuk pergi mengikuti rute perjalanan yang telah direncanakan oleh Julak. Kata julak dalam surat, julak akan menungguku di tepi sungai yang berjarak kurang lebih setengah kilometer dari perbatasan antara kampung dan hutan. Aku tinggal berjalan saja menyusuri jalan setapak yang ada, sekitar empat ratus meter Bang Fi'I anak julak sedang menungguku karena jalan menuju sungai terlalu jauh bila harus mengikuti jalan setapak, Bang Fi'I akan menemaniku berjalan memotong untuk mendapatkan jarak yang lebih dekat. Jalanannya tentu saja tidak sebersih jalan setapak, banyak semak-semak dan duri-duri.
Terisak-isak aku berjalan menyusuri jalan kecil yang terlindung pepohonan besar. Aku berlari…….. beberapa meter dari pagar belakang rumah, terdengar suara ribut, teriakan-teriakan nyaring terdengar dari depan rumah kami. Penasaran, aku berbalik mendekati rumah, bersembunyi dan mencoba mengintip apa yang sedang terjadi. Ternyata serombongan orang-orang jahat itu mengacung-acungkan mandau ke arah rumah kami sambil berteriak menyuruh suamiku turun. Beberapa orang terlihat menerobos masuk rumah. Astaghfirullah! Suamiku diseret paksa! Tanpa ampun lagi mereka mengayunkan mandau dan……….. Aku memejamkan mata, air mataku mengalir semakin deras. Ya Allah kuatkan hati hambamu ini… Seandainya tidak sedang menggendong Kamil, aku pasti sudah menghambur ke sana. Tapi saat kulihat wajah polos Kamil yang sedang tertidur pulas. Kutahan diriku. Lututku serasa lemas, napasku sesak, tubuhku limbung. Akhirnya aku cuma bisa bersandar di pohon tempat persembunyianku. Memejamkan mata yang basah. Hati yang sakit ini rasanya bertambah tersayat saja waktu aku mengenal dua orang diantara para pembunuh itu. Mereka adalah Abah dan Paman. Aku memang sudah dibuang dari keluarga ketika mereka mengetahui aku menikah dengan seorang pemuda Madura. Tapi kenapa mereka tega?…..kenapa mereka tega? Ya Allah, manusia menjadi buta dikuasai nafsu membunuh. Dalam hati aku berdo'a semoga orang-orang kejam itu menghentikan kekejamannya, karena sudah terlalu banyak korban! Jangan ada korban lagi!
Kamil menggeliat lagi, kali ini dia membuka mata dan mulai merengek. Mungkin dia sudah kehausan, lagipula walaupun celana basahnya sudah kuganti, tetap saja lembab karena pengendongnya basah dan ikut meresap ke celananya sehingga dia merasa tak nyaman.
Aku mencoba mengingat-ingat dan menghitung, seberapa jauh jarak yang sudah kutempuh. Apakah sudah ada seratus meter? Ah … sepertinya…… sudah ada seratus meter. Perlu berjalan sekitar tiga ratus meter meter lagi! Tapi Kamil perlu menyusu!
Dia mulai menangis. Tangisan Kamil memang nyaring sehingga aku menjadi kalang kabut, takut ada orang lain yang mendengarnya. Cara satu-satunya, Kamil harus disusui sambil berjalan terus. Kuletakkan tas berisi pakaian Kamil ke tanah. Kutarik perlahan ujung jilbab lebarku yang terjepit kain penggendong dan tubuh Kamil. Kututupkan ke atas tubuh dan kepala Kamil, barulah kemudian aku menyusui Kamil.
Kamil sudah tertidur pulas dan sudah berhenti menyusu ketika telingaku menangkap suara rintihan. Mataku mulai mencari-cari asal suara. Ternyata seorang wanita muda yang bersandar di banir pohon Tarap. Aku berjalan mendekat dan duduk di depannya pelan-pelan khawatir Kamil terbangun bila aku bergerak secara mendadak.
Sambil merintih menahan sakit wanita muda itu menjelaskan bahwa dia akan melahirkan anak pertamanya. Oh! Barulah aku teringat, wanita ini warga kampung sebelah. Dia biasanya berjualan ikan asin di pasar Perbatasan yang letaknya tepat di perbatasan kampung kami dan kampungnya. Yang membuat aku ingat ya kehamilannya itu, dengan perut yang membuncit dia masih semangat berjualan. Alhamdulillah dia ternyata berhasil menyelamatkan diri dari kejahatan orang-orang tak berhati itu.
Aku bingung hendak menolong wanita ini. Bagaimana? Harus mulai dari mana? Ya Allah bantulah kami…
Wanita itu merintih lagi. Kuletakkan Kamil yang sedang tidur di atas hamparan kain penggendong dibantali dengan tumpukan lipatan lampin. Syukurlah dia tidak terbangun.
Kumantapkan hati. Bismillaahirrahmaanirrahiim! Wanita ini tak bisa menunggu lama. Aku harus membantunya. Apalagi ia mulai mengejan. Keringat membanjiri wajahnya dan juga wajahku. Wanita itu tampak lemas. Aku teringat sebotol air minum yang kubawa . segera kuminumkan supaya tenaganya pulih.
Terus kubantu, kuberi petunjuk dan aba-aba, menirukan Bu Bidan saat menolong aku bersalin. Akhirnya kami berhasil! Alhamdulillah! Ya Allah Yang Maha Pengasih.
"Perempuan, Kak." Ujarku memberitahu sambil berusaha membersihkan darah pada badan bayi itu dengan kain yang kubasahi dengan air dari botol. Kubungkus dengan kain lampin . sambil membungkus aku menoleh ke tempat Kamil tadi kubaringkan, aku terbelalak kaget. Kamil tidak ada lagi di tempatnya! Wanita muda itu juga terkejut. Kami sama-sama tegang dan tak lagi menengok Kamil yang tadi sedang tidur. Pasti bayi itu sudah terbangun, dan merangkak. Dadaku berdebar-debar. Kuserahkan bayi merah itu pada ibunya dan secepatnya aku mencari Kamil.
Dengan perasaan yang tak karuan aku mencari ke sana ke mari. Kepalaku pusing karena teramat khawatirnya. Air mataku sudah berdesakan keluar.
"Kamil!" aku mencoba memanggil. Kamil pasti kenal suaraku.
Tiba-tiba aku mendengar suara Kamil tertawa. Kudengarkan baik-baik untuk kemudian setengah berlari aku mendatangi suara itu. Jantungku berdetak lebih keras dan tubuhku bergetar kala melihat pemandangan di depanku. Ya Allah! Kamil sedang menertawai seekor ular kobra yang mendesis di depannya.
"Kamil!" aku berteriak sambil menyambar sepotong kayu dan memukul ular yang sedang dalam posisi tegak itu. Dengan ekor mata kulihat Kamil merangkak ke arahku. Ular itu mendesis dan kini berubah arah bersiap mematukku. Tanganku bergetar hebat, kuat-kuat aku memukulkan kayu di tanganku kepada ular itu. Luput! Kayu malah terpelanting. Aku memejamkan mataku pada detik-detik terakhir. Terdengar suara geratak ranting patah dan suara-suara berisik. Aku membuka mata.
Seorang lelaki berdiri di depanku, tangannya menggenggan…..celurit! Kulirik ular tadi, sudah terputus! Cepat-cepat kuraih Kamil yang berada di dekat kakiku.
"Orang Banjar, ya?" tanya lelaki itu kasar.
Aku mengangguk ragu.
"Hmmh!" lelaki itu mendekatiku sambil tersenyum bengis.
Ya aku baru sadar bahwa saat ini sedang terjadi perkelahian antar suku. Pastilah aku ini dianggapnya sasaran empuk untuk melampiaskan dendam atas pembantaian terhadap sukunya.
"Kak! Jangan!" suara lemah terdengar, lemah tapi membuat lelaki itu menoleh dan segera menyongsong wanita yang bersuara tadi. Dia …..wanita yang kutolong tadi, tertatih-tatih menggendong bayinya.
"Kalau Kakak mau membunuh dia, bunuh juga saya!"
Lelaki itu tampak heran, menoleh ke arah ku. Kemudian dia segera membantu wanita itu duduk bersandar pada sebatang pohon.
"Dia yang tadi menolong saya melahirkan anak kita."
Aku hanya diam terpaku di tempatku berdiri. Sedang lelaki itu duduk sambil menyambut bayi yang diulurkan wanita itu padanya. Wajahnya tampak haru.
"Terima kasih…Ma-maaf…Tadi saya tidak tahu…Hampir saja..."ucapnya tersendat-sendat.
Aku mencoba mengulas senyum walau hatiku masih ngeri.
"Iya….Tidak apa-apa,'"kucoba juga menjawab permintaan maafnya.
Aku duduk di seberang mereka. Hatiku sudah lega, yah setidaknya, ada kawan senasib. Mudah-mudahan dia tidak akan mencoba lagi, kulirik celurit lelaki itu tergeletak di sampingnya.
"Bagaimana, Kak?" tanya wanita itu.
"Aku berhasil membunuh si Effendi sombong itu juga si Usai yang telah membunuh keluarga kita. Tiba-tiba aku teringat kamu, cepat-cepat aku menyusulmu ke sini. Susah payah aku menyelinap supaya bisa sesegera mungkin sampai ke hutan ini."
"Maaf," rasa ingin tahuku membuatku angkat bicara.
Mereka sama-sama menoleh kearahku. Sementara Kamil memberontak ingin turun dari pangkuanku. Aku berusaha tetap memegang Kamil sambil bertanya:
"Effendi itu pemilik toko Emas Prima? Dan Usai itu adiknya?."
Lelaki itu memandangku, menyelidik, sebelum akhirnya menjawab,"betul."
"Mereka jugalah yang telah membunuh suami saya."
"Suami?"
"Suami saya orang Madura."
"Siapa namanya?"
"Abdul Wahab, Abah dan Paman saya itu berhasil mengepung dan mengeroyoknya."
"Oh!" lelaki dan wanita itu tersentak kaget.
"Abah dan Paman sampeyan?" tanya lelaki itu lagi sambil memutar posisi duduknya yang tadi menyampingiku jadi menghadapku.
" Ya. Saya sendiri tidak menyangka bahwa mereka tega membunuh menantu mereka sendiri. Rupanya mata mereka telah tertutup oleh nafsu setan ."
"Ah! Ya saya tak ragu lagi," lelaki itu tersenyum.
"Ya'" istrinya ikut juga bersuara, "Pantas saya rasanya pernah melihat wajah sampeyan. Ternyata sampeyan ini istrinya Ustadz Wahab. Alhamdulillah kita bisa meluruskan kesalah pahaman ini."
Kuceritakan pada mereka tentang surat julak dan rencananya. Dan kuajak mereka untuk ikut aku mendatangi julak.
Mereka saling berpandangan. Aku tahu mereka bingung bila harus bertahan di dalam hutan ini sementara tak menutup kemungkinan orang Dayak Banjar dan Melayu itu akan tembus kemari dan menemukan mereka, lagipula hutan tak baik bagi bayi yang baru lahir. Bayi itu perlu lingkungan yang bersih dan sehat.
Mereka setuju! Alhamdulillah mereka percaya padaku. Mulailah kami perlahan berjalan. Wanita yang ternyata bernama Yanti itu dirangkul oleh suaminya yang juga sudah memperkenalkan dirinya. Namanya Cak Rokhim.
Kami berjalan bagai merayap. Sebentar-sebentar Yanti harus istirahat dan kembali menyusui bayinya. Kamil juga ikut menyusu di dalam jilbab. Aku bersyukur Kamil tidak rewel. Sebab biasanya bila sampai tinggi hari begini dia belum makan dia pasti rewel. Karena itu pulalah setiap kali berhenti Kamil kususui selama mungkin.
Ketika sudah tiga ratus meter terlewati. Sesosok yang kukenal menyambut kedatangan kami. Bang Fi'I! Tak terkira lega hatiku. Tanpa banyak bertanya lagi setelah kukatakan bahwa yang bersamaku ini teman-temanku, dia segera mengajak kami mengikutinya dari belakang. Jalanannya lebih sulit, sempit dan banyak akar-akar serta semak yang menghalangi. Segera kuberikan Kamil kepada Bang Fi'I, dan kugendongkan bayi Yanti. Supaya Yanti tidak terlalu lelah, sungguh Yanti termasuk wanita yang kuat, walaupun kulihat juga guratan penderitaan di wajahnya. namun dengan sabar dia berjalan dibimbing suaminya. Kini dia digendong oleh suaminya.
Perjalanan terasa sangat lama walaupun jarak yang harus ditempuh hanya sekitar seratus meter saja lagi. Sebotol air milikku sudah habis, kusuruh Yanti yang meminum semuanya. Tetapi Bang Fi'I juga membawa air minum, aku tak perlu khawatir.
Akhirnya! Alhamdulillah! Kami sampai di tepi sungai kecil yang dimaksud julak dalam suratnya. Sebuah kapal kecil sedang tertambat, dan seseorang yang sedang duduk di buritan kapal melihat kami datang segera berlari ke dalam kapal. Dan tak lama keluarlah julakku, julakku yang lembut dan baik hati.
Kening julak berkerut melihat Cak Rokhim dan Yanti.
"Teman-teman ulun senasib Julak."
Julak manggut-manggut sambil tersenyum menyalami keduanya.
Setelah itu julak mengajak kami semua masuk. Kapal akan segera berangkat. Memasuki kamar kapal, dan melihat kasur yang terhampar di dalamnya, segera kusuruh Yanti berbaring di sana. Bayinya kumandikan dengan air hangat dan kupakaikan pakaian Kamil. Meski dalam penderitaan aku masih bisa tersenyum. Aku merasa geli melihat pakaian bayi itu kedodoran, dan lega karena berhasil membawanya ke tempat yang aman, insya Allah.
Kubawa bayi itu kepada Yanti dan Cak Rokhim. Wajah mereka bersinar senang. Bayi mereka tampak semakin manis sesudah kumandikan.
Yanti juga kubantu membersihkan badan dan mengganti pakaian. Pakaianku yang ada didalam tas cuma selembar jubah, kusuruh ia memakainya.
Akhirnya kedua suami istri itu beristirahat tenang di kamarnya.
Julak memanggilku..
Kamil tertawa-tawa bercanda dengan julak ketika aku datang. Mereka sedang duduk di atas kasur di dalam kamar julak.
Ketika melihat aku, Kamil segera merengek dan mengacungkan kedua tangannya ke arahku. Aku tersenyum lalu mengambilnya dari tangan julak.
"Ada apa julak?"
"Sebenarnya julak tahu kedua temanmu itu orang Madura. Julak kan pedagang. Mereka sering berjualan di pasar. Ya jelas julak kenal. Mereka juga pasti kenal sama julak, namun mungkin mengira julak tidak mengenal mereka."
"Lalu?" tanyaku hati-hati.
Julak tersenyum seolah memahami kekhawatiranku. Ditepuknya lembut bahuku.
"Julak bangga, kamu bisa mencintai sesama muslim tanpa membedakan suku. Julak sebenarnya tidak sependapat dan menolak hal-hal yang dilakukan Abah dan Pamanmu. Julak tidak seperti itu, Nak. Makanya julak mengirim surat secepatnya lewat abangmu Fi'I, menyuruh kau dan suamimu mengikuti rencana julak. Kita sekarang akan ke Banjamasin ke rumah julak" Di sini julak punya rumah sewaan yang kadang-kadang ditinggalnya pulang ke Banjar. Bila julak pulang Bang Fi'I yang menunggui rumah, begitu pula sebaliknya.
Mengetahui nasib suamiku, Abah dan Paman, julak hanya diam saja. Lama julak merenung dengan mata berkaca. Entah apa yang sedang berkecamuk di hatinya.
Ah! julak…kau tetap saja seperti dulu baik hati dan bijak……….. Betapa hati ini ingin tinggal menetap bersama julak sekeluarga di Banjarmasin. Tetapi aku punya rencana lain.
Aku akan kembali ke Pesantren Hidayatullah. Di sana Kamil akan mengalami juga masa-masa seperti kami, aku dan Bang Wahab pernah mengalaminya; nikmatnya hidup di lingkungan Pesantren. Kamil….aku ingin kau menjadi mujahid seperti Bapakmu. Insya Allah…
KETERANGAN:
Abah: Ayah
Julak: Kakak dari Bapak atau Ibu (Jawa: Pakde)
Mandau: senjata khas Kalimantan
Banir: lengkungan akar pada bagian bawah pohon yang membentuk seperti dinding
Tarap: nama pohon di Kalimantan
Lampin: kain untuk membungkus bayi
Ulun: saya

0 komentar:

Posting Komentar