TASAWUF

Al-Hallaj :
"Pengusung Paham Eksoteris yang Dianggap Gila
dan Berkekuatan Magis"
Al-Hallaj atau Husayn ibn Manshur (244-309/957-922) adalah seorang sufi Persia yang dilahirkan di Thus yang dituduh musyrik oleh khalifah dan oleh pakar-pakar Abbasiyyah di Baghdad dan karenanya ia dihukum mati.
Al-Hallaj menjadi tersohor lantaran sya'ir-sya'irnya yang sangat dipuja pada masa-masa itu. Ia memiliki pengikut yang tidak sedikit jumlahnya di kalangan masyarakat Abbasiyyah, dan memiliki pengaruh yang besar di kalangan pengikutnya.
Sejumlah keajaiban atau keanehan erat dengan dirinya, bahkan termasuk juga ilmu syihir. Ia dipandang terlibat dengan organisasi rahasia, bahkan ia dipandang sebagai salah seorang pimpinan gerakan tersebut.
Ia terlibat dalam gerakan perlawanan terhadap penguasa, atau setidaknya turut mempengaruhi emosi rakyat dalam gerakan tersebut, lantaran penguasa Abbasiyyah menemukan sejumlah bukti di dalam rumah para pengikutnya, yakni sejumlah besar dokumen yang ditulis di atas kertas Cina, yang sebagian ditulis dengan tinta warna keemasan.
Sebagian tersusun di atas lembaran satin atau sutra. Sebagian kertas lainnya merupakan naskah-naskah kritis dari agen-agennya, juga tentang beberapa instruksinya terhadap mereka yang harus disebarluaskan oleh mereka, bagaimana mereka harus menggerakkan rakyat dari satu tahap menuju tahap berikutnya, bagaimana mendekati kelompok masyarakat yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat intelektual dan pemahaman mereka masing-masing.
Selama bertahun-tahun Al-Hallaj mengembara di pelosok Persia, India, dan Turkestan, bahkan sampai ke wilayah perbatasan negeri Cina, sebuah kunjuangan terhadap kelompok keagamaan yang memihak kepadanya. Melalui propaganda dan kegiatan-kegiatan keagamaan ini, maka ia diberi gelar "Al-Hallaj", yang merupakan bentuk singkatan dari gelar "Al-Hallaj al-Asrar," pembersih (Al-Hallaj) hati atau kesadaran.
Ia adalah seorang yang cukup membingungkan; dan beberapa kalangan mencatatnya sebagai seorang wali, bahkan ia juga dipandang sebagai bentuk kesadaran paham esoteris; sementara sebagian lainnya menganggapnya melebihi seorang wali pada umumnya, bahwa keajaibannya selalu dipertunjukkan dalam beberapa kesempatan sehingga menimbulkan pengaruh di kalangan pendukungnya; dan sesungguhnya keajaiban itu tersebut dipandang sebagai bagian dari ilmu sihir.
Terdapat beberapa cerita yang menjadi bukti kelemahannya, yakni bahwa dirinya dan warganya telah mengadakan pemujaan terhadapnya dalam peribadatan yang sesat. Kata al-Hallaj; "Tuhan semula terdapat di surga namun ia juga berada di bumi." Bahkan masa mudanya ia mengemukakan pengakuan sebagai burung jalak:
"Pada suatu hari ketika saya berjalan bersama Husyn ibn Manshur (seorang gurunya yang bergelar al-Makki) di sebuah lorong sempit di Makkah. Tiba-tiba aku dikejutkan bacaan dari al-Quran sepanjang perjalanan kami. Maka Dia berkata kepadaku ; "Sesungguhnya akulah yang mengucapkan bacaan-bacaan itu, karena diriku sendiri adalah bacaan-bacaan tersebut."
Semenjak peristiwa itu aku tidak pernah menjumpainya lagi. Ketika Al-Hallaj telah mencapai kemasyhurannya, terdapat keterangan mengenai dirinya:
"Pada suatu kali" (kata seorang hakim yang bernama Muhammad ibn 'ubayd) ".Saya duduk sebagai murid Al-Hallaj. Pada saat itu ia sedang menjalankan zikir di sebuah masjid di Bashrah sebagai pengajar Al-Quran, hal ini terjadi sebelum terjadi pengakuannya yang sangat menghebohkan. Pada suatu hari pamanku sedang bercakap dengannya, ketika itu saya turut duduk mendengarkan percakapan mereka berdua."
Maka Al-Hallaj berkata : 'Saya harus segera meniggalkan Bashrah !''' Mengapa harus demikian?', tanya sang paman. 'Orang-orang di sini terlalu mempergunjingkan tentang diriku, dan aku muak dengan itu,' jawab Al-Hallaj. 'Apa yang mereka gunjingkan?' tanya sang paman.
'Mereka menganggapku mampu mengerjakan apapun,' kata Al-Hallaj; '..dan aku tidak mampu memberi mereka penjelasan yang dapat membebaskan mereka dari ketersesatan anggapan tersebut, maka mereka tetap dalam anggapannya bahwa Al-Hallaj berkuasa mengabulkan do'a, bahkan kata mereka Al-Hallaj memiliki berbagai mu'jizad yang nyata. Siapakah gerangan aku ini, sehingga segalanya mesti diserahkan kepadaku?'
'Kuceritakan sebuah cerita..,' sambung Al-Hallaj, '..seorang laki-laki datang menyerahkan sejumlah dirham kepadaku untuk dibagikan kepada fakir miskin. Sedang pada saat itu tidak kujumpai seorang fakir pun, sehingga dirham tersebut ku taruh di atas kesetan masjid, yang berdekatan dengan tiang. Cukup lama aku menunggu, namun tidak seorang fakir pun datang mengambilnya, dan setelah menjelang malam kutinggal pulang. Menjelang fajar aku kembali duduk di mesjid dekat tiang tersebut, sebagaimana biasanya, dan aku mulai memanjatkan do'a; maka tiba-tiba kalangan dervishes, yakni para sufi miskin, berkumpul mengitariku. Aku segera menghentikan do'a, lalu mengangkat kesetan tersebut dan membagi-bagikan uang kepada mereka. Maka mereka kemudian menyebarkan desas-desus bahwa hanya dengan menggesek-nggesek debu saya dapat mengubah debu tersebut menjadi perak!' papar Al-Hallaj."
Al-Hallaj menceritakan kisah yang sejenis itu, hingga sang paman mengucapkan salam seraya meninggalkannya. Semenjak itu sang paman tidak pernah lagi datang kepaa Al-Hallaj. "Dia adalah seorang pembohong di kalangan masyarakat," kata sang paman."Seharusnya kita tidak perlu mendengar lagi kisah-kisahnya."
Al-Hallaj pertama kali menjadi murid tharikat Syaikh Sahl di al-Tustari, kemudian ia meninggalkannya berganti berguru kepada al-Makky, tidak lama kemudian ia meninggalkan al-Makki dan mencoba bergabung menjadi murid al-Junaid al-Baghdadi.
Namun al-Junaid menolaknya seraya berkata : "Saya tidak menerima seorang murid yang gila." Seseorang yang menemani al-Hallaj berusaha menasihatinya, seusai perjumpaan dengan al-Junaid, namun al-Hallaj menjawab, "Aku menghargai al-Junaid semata karena usianya; bahwa derajat kesufian merupakan suatu anugrah Tuhan dan tidak dapat dipelajari dari Sang guru."
Belakangan al-Hallaj menjadi sangat tersohor. Ia seringkali menggelisahkan masyarakat sekelilingnya lantaran beberapa pembicaraannya yang aneh mengenai Tuhan, misalnya, "Wahai Engkau yang lebih dekat dari kulitku sendiri." Perkataan semacam itu menunjukkan kedekatan al-Hallaj terhadap Tuhannya.
Tidak hanya sekali al-Hallaj menangis di tengah-tengah keramaian pasar seraya mengutarakan perkataan seperti ini : "Wahai orang-orang ! selamatkan aku dari Tuhan yang telah merampasku dari diriku sendiri...maka celakalah orang yang mendapatkan dirinya lenyap bersama kehadiran Tuhan dan dirinya akan lenyap bersama terjadinya kesatuan tersebut."
Perkataannya tersebut membuat orang-orang yang mengerumuninya di pasar meneteskan air mata. Terdapat sejumlah kisah tangisan yang sejenis ini, namun ketika orang-orang di sekitar mulai turut menangis, justru al-Hallaj tertawa keras-keras.
Ia seringkali memamerkan keajaiban yang berkaitan dengan uang, misalnya hanya dengan menggosok-nggosokkan tangannya di atas tikar, ia dapat mendatangkan timbunan mata uang dari emas, kemudian ia memanggil masyarakat miskin untuk mengambil uang tersebut sekehendak mereka; Suatu saat ia melemparkan dompet yang berisi banyak uang ke tengah sungai Tigris, beberapa lama kemudian datang seorang utusan membawa kembali dompet tersebut dalam keadaan utuh dan kemudian seluruhnya diberikan kepada utusan tersebut. Dompet tersebut sebelumnya diterima al-Hallaj sebagai hadiah atas jasa pengobatannya;
Beberapa kalangan bangsawan meminta bantuan al-Hallaj untuk mengobati seorang anak yang menderita sakit keras. Maka al-Hallaj berkata : "Ia segera sembuh." Anak tersebut pun segera sembuh, bahkan ia tampaknya seperti tidak pernah menderita sakit. Kabar kemampuan al-Hallaj dalam pengobatan seperti ini segera tersebar sampai ke penjuru yang jauh. Namun sudah barang tentu tidak semua orang mempercayai keajaibannya tersebut.
Hallaj telah memperdayakan sejumlah orang untuk mengikuti jejaknya, di antara mereka terdapat beberapa kalangan pejabat. Ia berjuang untuk menguasai kalangan pejabat. Ia berjuang untuk menguasai kalangan sekte reaksioner, oleh karena itu ia berusaha menerima pemikiran mereka dan menjadikannya sebagai pemikirannya sendiri; dan untuk itu ia mengirimkan seorang utusan kepada ibn Nawbakht, seorang anggota dari sekte ini.
Ibn Nawbakht adalah seorang intelektual yang cerdik. Kepada utusan al-Hallaj tersebut ia berkata, "Guru anda memang mahir dalam tipuan sulap. Katanya, 'Saya adalah orang yang pantas disebut sebagai pejuang cinta karena tidak ada sesuatu di muka bumi ini yang lebih menyenangkan diriku melainkan perempuan, karenanya aku sangat membenci kebotakan rambut di kepalaku. Maka kubiarkan rambutku tumbuh memanjang, lalu aku menggulungnya di dalam Turban (sejenis pici yang berbentuk panjang) yang kukenakan. Dan aku merahasiakan jenggotku yang memutih beruban dengan celupan pewarna hitam.'
"Maka sekarang, jika Hallaj mampu membuat rambut kepala dan aku merahasiakan jenggotku yang memutih beruban dengan celupan pewarna hitam. Maka sekarang, jika Hallaj mampu membuat rambut kepala dan jenggotku menjadi hitam kembali, niscaya saya akan menurut ajaran apa saja yang disebarkannya. Aku akan memanggilnya sebagai wakil dari seorang nabi. Dan bahkan jika ia berkenan, aku akan memanggilnya sebagai Nabi atau bahkan sebagai "Yang Agung" (Tuhan)," sambung Ibn Nawbakht.
Cuplikan di atas menunjukkan sikap ibn Nawbakht sebagai "orang berpendidikan yang cerdik", dengan pengandaiannya tersebut ia mencoba menangkis kepercayaannya terhadap al-Hallaj, dan sekaligus melecehkan kemashurannya, namun pengandaiannya tersebut sungguh-sungguh menjadikan kenyataan lantaran keajaiban al-Hallaj.
Bahkan beberapa kalangan pejabat menjadi pengagum dan pengikut al-Hallaj, di antara mereka adalah ibu Khalifah al-Muqtadir dan orang kepercayaannya yang bernama al-Nashir. Ia menyebarkan eksistensi ketuhanannya di tengah-tengah kalangan keluarga 'Ali.
Pada tahun 301/913 ia dipenjara selama beberapa tahun lantaran ia terlibat dalam suatu gerakan yang terlarang, dan lantaran ia menyebarkan ajaran yang kacau (sesat) sehingga akhirnya ia dijatuhi hukuman bunuh, berdasarkan keputusan tokoh-tokoh agama (baik kalangan eksoterik maupun non kalangan eksoterik) bahwa ia menyebarkan ajaran syirik.
Pada saat itu sedang berlangsung pemberontakan Qaramithah, demikian juga tengah berlangsung gerakan kebangkitan Fathimiyyah di Afrika Utara, di mana tokoh-tokoh gerakan tersebut menggunakan emosi keagamaan dalam melancarkan propaganda politik. Dalam kondisi yang demikian pihak ortodoks memandang doktrin-doktrin gerakan tersebut sebagai organisasi yang berkedok agama yang memiliki maksud-maksud tertentu di balik kedok spiritual mereka.
Dalam setiap kesempatan Hallaj menyampaikan pernyataan secara umum bahwa dirinya sendiri adalah seorang musyrik, hal ini yang terkandung di dalam ucapannya : "Saya telah mencabut keimananku terhadap Tuhan, dan pencabutan semacam ini bagiku merupakan kewajiban, namun hal ini dipandang suatu yang keterlaluan bagi setiap muslim,"
Dan juga dalam perkataannya, "Pernyataan pengakuan terhadap Tuhan merupakan suatu kebodohan, penuh ketaatan dalam mengabdi kepada Tuhan adalah kehinaan, berhenti memusuhi Tuhan adalah kegilaan" dan seterusnya. Kata Hallaj, "Menganggap tuhan sendiri dapat membaurkan diri-Nya adalah suatu kemustahilan dan merupakan perbuatan syirik.".
Diantara paham antinomianisme al-Hallaj adalah penafsirannya mengenai tawhid (Kesatuan Ketuhanan), di mana Hallaj menyatakan diri benar-benar sebagai Tuhan tanpa sedikit pun memiliki sifat-sifat manusia.
Pada suatu ketika seorang asal Isfahan yang bernama Ali ibn Sahl mempergunjingkan permasalahan ini, maka Hallaj segera menuju ke Isfahan, dan agak sedikit kasar al-hallaj berkata : "Engkau sungguh lancang telah berani membicarakan tentang "kebijaksanaan" sedang aku sendiri masih hidup."
Pada akhir hidupnya, al-Hallaj menjalani hukuman di depan masyarakat umum sehingga ia meninggalkan kesan mendalam di tengah pengikutnya.
Al-Hallaj terkenal dengan pernyataan "Ana al-Haqq" (atau "Akulah Yang Maha Mutlaq", atau "Yang Maha Nyata", "Kebenaran", dan juga dapat berarti "Akulah Tuhan"). Ahmad ibn Fatik berkata bahwa ia pernah mendengar bahwa Hallaj berkata : "Aku lah Yang Maha Benar di mana Kebenaran tersebut adalah milik Tuhan dan Aku mengenakan Esensi-Nya, sehingga tidak ada perbedaan di antara Kami (yakni tidak ada perbedaan antara Aku dan Tuhan)."
Pernyataannya tersebut merupakan keanehan Hallaj dibanding tokoh lainnya, bahkan ia berada di tengah-tengah tokoh awal dan akhir yang tidak dapat disejajarkan dengan Kemutlakan Tuhan. Perkataan al-Hallaj "Ana al-Haqq" dalam sebuah syairnya pernah diungkapkan oleh imam al-Junaid. Namun kalimat tersebut dalam ungkapan al-Junaid mengandung pengertian bahwa "melalui Yang Haqq engkau terwujud."
Ini tidak berarti bahwa al-Junaid menolak pengetahuan Tuhan tanpa adanya pihak lain (tawhid), bahkan ia menyatakan bahwa ungkapan tersebut sebagai penghapusan pembatas antara manusia dengan Tuhan. Pada ujung perjalanan manusia tetap sebagai manusia dan Tuhan tetap sebagai Tuhan (al-"abd yabqa al-'abd wal-Rabb yabqa al-Rabb).
Namun kesadaran manusia akan Tuhan tidak mengenal batas, tanpa pertentangan, tanpa syarat tertentu, dan bahkan tanpa unsur kemusyrikan (penyekutuan realitas lain di samping Tuhan), di mana hal ini muncul dari pemikiran dan konseptualisasi semata.
Hallaj dan ajarannya mengakui bahwa terdapat kesatuan pribadi; di mana seorang individu mencapai sifat-sifat ketuhanan yang secara alamiah hal ini akan mendorong pada pemujaan individual di sekitar alam semesta ini.
Salah seorang sufi mengungkapkan karya-karyanya dan pernyataannya sebagai berikut: "Dengan sangat cerdas al-Hallaj telah menuliskan berbagai formulasi baik secara alegoris, teologis maupun yuridis. Seluruh ungkapan mistiknya menyerupai pandangan tokoh-tokoh yang pertama, bahkan dalam beberapa hal cenderung lebih kuat, sebagian lebih samar, beberapa hal lebih layak dipakai, dan lebih baik dibanding lainnya. Ketika Tuhan memberikan pandangan terhadap seseorang, dan setelah itu manusia berusaha menyatakan apa yang dilihatnya dengan kekuatan ma'rifat yang tinggi ke dalam kata-kata, dan dengan bantuan Tuhan semata, dan lebih dari itu ia mengungkapkannya di dalam diri sendiri secara tiba-tiba saja, dan dengan pengagungan diri sendiri, maka perkataan tersebut menjadi sulit dipahami."
Pada zamannya sendiri, oleh kebanyakan sufi, al-Hallaj dipandang sebagai orang musyrik. Sekalipun demikian setelah kematiaannya, mulai timbul propaganda membela kebaikan al-Hallaj, khususnya propaganda tersebut berkembang di Transoxania, yang memujanya sebagai kurban syahid lantaran sempitnya paham eksoteris.
Sekalipun ia telah lama meninggal, namun karya puisi sufisnya senantiasa mengenangkan perjuangannya. Dalam hal-hal tertentu diri al-Hallaj terpecah menjadi dua pribadi: ibn 'Arabi memandang bahwa pada satu sisi pandangan al-Hallaj adalah pandangan seorang wali, namun pada sisi lain ia memiliki sebuah pandangan yang melebihi kebesaran nabi.
Sehingga ia diperkatakan sebagai nabi, sisi pandangan yang kedua inilah yang menyebabkan ia pantas diberi hukuman. Sungguh pun demikian al-Hallaj menjadi sebuah misteri atau teka-teki, di mana di dalam sejumlah puisinya sendiri terdapat beberapa hal yang saling bertentangan :
"Tuhan melempar seorang laki-laki ke tengah samudera dengan tangannya terbelenggu di balik punggung, seraya berkata kepadanya : "berhati-hatilah, atau engkau akan tenggelam ke dalam air !"
Beberapa sya'irnya yang sejenis ini lebih dikenali oleh kalangan mistisisme, bahkan secara khusus merupakan pengungkapan yang bercorak dramatis. "Ketika datang dahagaku, kuhadapkan wajah kepada secangkir Anggur, di dalam kegelapan cangkir aku melihat sebuah bayangan Diri-Mu !."
Dan dalam sya'irnya yang lain :
Aku adalah Cintaku ; Cintaku adalah Aku;
Dua jiwa bertempat di tubuh ini.
Jika engkau memandangku, sesungguhnya Dia yang kau pandang;
Dan jika engkau memandang-Nya, niscaya di sana engkau akan mendapatkan diriku !.

Dan dalam sebuah sya'irnya yang lainnya ; "Seorang Nabi adalah pelita penerang dunia; tetapi makrifat (ecstasy) merupakan cahaya dari Sisi ruang yang terdalam. Sang ruh berhembus ke dalam diriku, dan ia tetap bersamaku sekalipun ajal telah menghampiriku. Tampak jelas oleh mataku saat Musa sedang berdiri di atas Sinai."




Kisah Perjalanan Para Sufi Ahmad Izzah
Suatu sore, ditahun 1525. Penjara tempat tahanan orang-orang di situ terasa hening mencengkam. Jendral Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan. Setiap sipir penjara membungkukkan badannya rendah-rendah ketika 'algojo penjara' itu berlalu di hadapan mereka. Karena kalau tidak, sepatu 'jenggel' milik tuan Roberto yang fanatik Kristen itu akan mendarat di wajah mereka.
Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci.
"Hai...hentikan suara jelekmu! Hentikan...!" Teriak Roberto sekeras-kerannya sembari membelalakan mata. Namun apa yang terjadi? Laki-laki di kamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu'nya. Roberto bertambah berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup untuk satu orang. Dengan congak ia menyemburkan ludahnya ke wajah renta sang tahanan yang keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyulut wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala.
Sungguh ajaib... Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan. Bibir yang pucat kering milik sang tahanan amat gengsi untuk meneriakkan kata Rabbi, wa ana 'abduka... Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata, "Bersabarlah wahai ustadz...InsyaALlah tempatmu di Syurga."
Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustadz oleh sesama tahanan, 'algojo penjara' itu bertambah memuncak amarahnya. Ia diperintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-keras hingga terjerembab di lantai.
"Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa jelekmu itu?! Aku tidak suka apa-apa yang berhubung dengan agamamu! Ketahuilah orang tua dungu, bumi Sepanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan bapak kami, Tuhan Yesus. Anda telah membuat aku benci dan geram dengan 'suara-suara' yang seharusnya tak pernah terdengar lagi di sini. Sebagai balasannya engkau akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau mau minta Maaf dan masuk agama kami."
Mendengar "khutbah" itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan tatapan tajam dan dingin. Ia lalu berucap, "Sungguh...aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, ALlah. Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemauanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh."
Baru saja kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah bersimbah darah. Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah 'buku kecil'. Adolf Roberto bermaksud memungutnya. Namun tangan sang Ustadz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat.
"Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!" bentak Roberto. "Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!" ucap sang ustadz dengan tatapan menghina pada Roberto.
Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu lars berbobot dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustadz yang telah lemah. Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus. Bahkan 'algojo penjara' itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur.
Setelah tangan renta itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya penasaran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh. Mendadak algojo itu termenung.
"Ah...sepertinya aku pernah mengenal buku ini. Tapi kapan? Ya, aku pernah mengenal buku ini." suara hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu. Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan "aneh" dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Sepanyol.
Akhirnya Roberto duduk disamping sang ustadz yang telah melepas nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak. Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto. Pemuda itu teringat ketika suatu sore di masa kanak-kanaknya terjadi kericuhan besar di negeri tempat kelahirannya ini. Sore itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia).
Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa berjatuhan di bumi Andalusia. Di hujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab) digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin sore yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara. Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mau memasuki agama yang dibawa oleh para rahib.
Seorang bocah laki-laki mungil tampan, berumur tujuh tahunan, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua. Bocah mmungil itu mencucurkan airmatanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan. Perlahan-lahan bocah itu mendekati tubuh sang ummi yang tak sudah bernyawa, sembari menggayuti abuyanya. Sang bocah berkata dengan suara parau, "Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa....? Ummi, cepat pulang ke rumah ummi..."
Bocah kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu harus berbuat apa. Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah. Akhirnya bocaah itu berteriak memanggil bapaknya, "Abi...Abi...Abi..."
Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapak ketika teringat kemarin sore bapaknya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.
"Hai...siapa kamu?!" teriak segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati sang bocah. "Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi..." jawab sang bocah memohon belas kasih.
"Hah...siapa namamu bocah, coba ulangi!" bentak salah seorang dari mereka.
"Saya Ahmad Izzah..." sang bocah kembali menjawab dengan agak grogi. Tiba-tiba "plak! sebuah tamparan mendarat di pipi sang bocah.
"Hai bocah...! Wajahmu bagus tapi namamu jelek. Aku benci namamu. Sekarang kuganti namamu dengan nama yang bagus. Namamu sekarang 'Adolf Roberto'...Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang jelek itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!" ancam laki-laki itu.
Sang bocah meringis ketakutan, sembari tetap meneteskan air mata. Anak laki-laki mungil itu hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi. Akhirnya bocah tampan itu hidup bersama mereka. Roberto sedar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang ustadz. Ia mencari-cari sesuatu di pusar laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah 'tanda hitam' ia berteriak histeris, "Abi...Abi...Abi..."
Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. Fikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik bapanya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia jua ingat betul ayahnya mempunyai 'tanda hitam' pada bahagian pusar.
Pemuda beringas itu terus meraung dan memeluk erat tubuh renta nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas ulahnya selama ini. Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun alpa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, "Abi... aku masih ingat alif, ba, ta, tha..." Hanya sebatas kata itu yang masih terakam dalam benaknya.
Sang ustadz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyeksanya habis-habisan kini tengah memeluknya.
"Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuhi Abi, tunjukkan aku pada jalan itu..." Terdengar suara Roberto memelas.
Sang ustadz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, ia lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika sekian puluh tahun kemudian, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, ditempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Allah.
Sang Abi dengan susah payah masih bisa berucap. "Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu,"
Setelah selesai berpesan sang ustadz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimah indah "Asyahadu anla Illaaha ilAllah, wa asyahadu anna Muhammad Rasullullah...'. Beliau pergi dengan menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang dibumi yang fana ini.
Kini Ahmah Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agamanya, "Islam, sebagai ganti kekafiran yang di masa muda sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru berguru dengannya..." Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy.
Benarlah firman Allah... "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama ALlah, tetaplah atas fitrah ALlah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS>30:30)
'wassalaamun alaykum.




1 komentar:

  1. ablefaciane mengatakan...:

    The 5 best casinos to play on slot machines - DrmCD
    The 5 best casinos to play on slot 남양주 출장샵 machines · 1. Bovada.lv. 대전광역 출장안마 This is the best casino to play the 양산 출장마사지 games online! · 오산 출장안마 2. Betway. A large selection of 동해 출장샵 slots and

Posting Komentar