SAHABAT LAMA
Bayangan lembar-lembar uang itu masih berseliweran di depan mataku. Sulit sekali menghapuskan iming-iming yang begitu menggoda. Sudah kucoba memejamkan mata, tapi kembali tumpukan kertas berharga itu saja yang nampak. Jelas…Jelas sekali layar batin ini menayangkan rekaman pertemuanku dengan sahabat lamaku Jauhari yang sudah empat tahun tak pernah bersua.
Saat kami pertama bertemu, ia masih kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Negeri yang ada di kota Samarinda. Jauhari ber- KKN (Kuliah Kerja Nyata) di kampungku selama kurang lebih dua bulan. Waktu yang teramat singkat, namun telah memupuk persaudaraan dan keakraban yang cukup dalam diantara kami. Mungkin jiwa seni yang sama-sama kami milikilah yang menyebabkan kami begitu cocok. Ia seorang mahasiswa jurusan bahasa yang mendalami dunia sastra, sementara aku sendiri meski bukan dari jurusan sastra namun karena hoby telah ratusan karya sastraku termuat di berbagai media, hingga kini namaku cukup diperhitungkan di kalangan seniman, meski hanya lokalan.
Banyak hal mengenai dunia sastra dan sikap hidup seorang sastrawan yang kami perbincangkan dalam berbagai kesempatan. Bahkan kerap kami berdiskusi tentang segala hal, tak hanya masalah sastra. Kadang masalah politik, pendidikan, ekonomi, bahkan masalah cinta dan perempuan. Dari percakapan-percakapan itu aku dapat menarik kesan yang positif tentang pribadi kawan baru yang bernama Jauhari ini.
Pandangan-pandangannya tentang sastra, juga hidup dan kehidupan sungguh menggambarkan kematangan intelektual dan pengalaman yang dimilikinya. Dalam usianya yang saat itu belum dua puluh lima tahun ia telah sedemikian memahami posisi dan harga diri seorang sastrawan.
"Sastrawan itu adalah guru masyarakat. Ia juga seorang terpelajar yang memiliki ilmu pengetahuan dan menyampaikan kepada masyarakat dengan cara yang indah dan elegan. Karena itu sastrawan disebut juga pujangga. Nah, jika kita ingin benar-benar menjadi pujangga kita harus bisa menjaga citra dan harga diri seorang pujangga,"ujar Jauhari saat kuminta komentarnya tentang posisi sastrawan di tengah masyarakat.
Ia juga mengatakan bahwa sastrawan adalah seorang pejuang dan da'I yang bertanggung jawab terhadap moral masyarakat. Warna budaya sebuah masyarakat tercermin dari karya sastra pujangganya. Lewat karyanya sastrawan bisa menyampaikan pesan yang makruf untuk memperbaiki akhlaq masyarakat. Namun lewat karya sastranya sang sastrawan juga bisa membuat suatu kemungkaran, sesuatu yang merusak akhlaq, bahkan aqidah ummat.
"Nah! Sekarang tinggal yang mana yang kita pilih? Yang makruf apa yang munkar?" ucap Jauhari untuk kemudian berpamitan pulang di suatu malam. Itulah hari terakhir aku bertemu dengan shabatku ini.
***
Jauhari yang kukenal empat tahun lalu sungguh sangat berbeda dengan Jauhari yang kutemui sore hari kemarin. Jauhari yang kutemui kemarin --saat aku mencari Majalah Annida terbaru-- di Mal Lembuswana, berpenampilan sangat lain. Aku hampir tak bisa lagi mengenali wajahnya yang ditumbuhi jambang lebat, berkaca mata hitam dan berbadan agak 'tambun'. Ya…mirip dengan gambar Tomy Soeharto yang sering kulihat di koran-koran.
"Eh…!!!" Aku tersentak saat seseorang menepuk pundakku untuk kemudian menyalamiku dan tersenyum penuh persahabatan. Aku melongo sejenak.
"Jauhari," jelas lelaki itu sambil mentertawakan sikapku yang agak canggung karena gugup. Dibukanya kacamata 'Hunter' yang dikenakannya.
"Oh….Jauhari? Jauhari Cek…" aku mengurungkan diri untuk mengucap sebutan 'ceking' yang dulu sering digunakan kawan-kawan untuk memanggil seniman satu ini. Tubuhnya sekarang tidak ceking lagi. "Kemana saja kamu selama ini Jo?"
"Jauh…Jauh sekali aku berjalan Di," sahut Jauhari disertai senyum aneh yang tak jelas maknanya bagiku. Ya, senyum itu memang tak berubah bentuknya dari senyumnya yang dulu, tapi seperti ada kegetiran tersembunyi di baliknya. Entahlah, saat itu aku tak seberapa perduli.
Sementara kuurungkan niatku ke toko buku. Kuikuti langkah Jauhari yang mengajakku makan-makan dulu di sebuah restoran di mal itu. Selain memang lagi lapar, aku juga ingin melepas rindu dengan sahabat lamaku ini. Apalagi Jo juga berkata bahwa ada sesuatu yang sangat penting yang ingin ia sampaikan kepadaku.
"Sebenarnya jauh-jauh datang dari Belanda ke Samarinda tercinta ini, tiada lain tujuanku selain ingin menemuimu," ucap Jauhari setelah kami memesan dua Juice Mangga dan Sate Madura.
"Mencariku?" tanyaku tak percaya. Benarkah dia jauh-jauh dari negeri kincir angin datang ke kota kecil ini hanya untuk menemui seorang penulis 'kacangan' seperti aku? Padahal kalau kulihat penampilannya, pasti dia sekarang bukan orang kebanyakan seperti diriku. Tentu dia telah menjadi pengusaha yang cukup kaya. Apalagi saat dia membayar anak tukang semir yang datang ke restoran ini, kulihat lembaran-lembaran uang dalam jumlah banyak terselip di balik dompetnya. "Untuk apa kau jauh-jauh datang ke mari mencariku?"
"Di…" Jauhari mulai berbicara. Tampak ia sangat hati-hati mengeluarkan kata-kata, hingga aku makin yakin bahwa memang benar-benar penting hal yang akan disampaikannya. Ia melirik dulu ke sekeliling kami untuk kemudian melanjutkan ucapannya. "Aku tahu tentang segala kegiatan dan keadaanmu saat ini."
"Maksudmu?"
"Aku tahu bahwa kau masih menjadi seorang penulis," Jauhari berhenti sebentar menunggu reaksiku. Namun manakala dilihatnya aku diam saja, ia melanjutkan." Aku juga tahu bahwa saat ini kau sedang mengalami masalah besar."
"Dari mana kau tahu?" Aku jadi tersentak. Heran. Ya, keheranan yang teramat sangat.
Jauhari tak menjawab. Ia kembali tersenyum dan kembali melanjutkan kata-katanya.
"Saat ini kau berhutang sebanyak lima puluh juta rupiah kepada penerbit di Jakarta."
"Kau tahu?"
"Aku juga tahu bahwa semua itu karena kau ditipu oleh pimpinan proyek pengadaan buku di sebuah instansi. Mereka menyanggupi akan membeli bukumu jika buku itu telah terbit. Namun setelah buku itu benar-benar terbit dengan biaya yang kau peroleh dari rentenir, ternyata proyek itu dibatalkan. Dan kau tidak bisa menuntut karena tidak ada bukti hitam di atas putih. Benarkan?"
"Benar. Lalu apa hubungannya dengan kedatanganmu ke sini?"
"Kau tidak usah khawatir, semua sudah kubayar."
"Kau bayar?" tanyaku lagi dengan lebih heran.
"Ya! Kau tidak percaya? Ini bukti transfer uang yang aku kirim ke rekening rentenir itu," sahut Jauhari cepat, secepat keherananku. "Ha..ha..ha… Tunjukan bukti setoran kepada anak dan istrimu, agar mereka tak lagi gelisah memikirkan dirimu! Tunjukkan pada para wartawan, agar mereka menulis berita bahwa sastrawan Leo Abdi telah mampu melunasi hutang-hutangnya. Bahkan bisa kau tambahkan bahwa kau cukup sukses berkarya di Ibu Kota dan memperoleh royalti yang cukup banyak. Biar sang sastrawan Leo Abdi tak lagi dipandang sebagai sastrawan melarat! Ha…ha…ha…!"
"Terima kasih , Jo…" ucapku dengan haru. Tak terasa butiran bening bergulir di sudut mataku. Kulihat Jauhari tersenyum. "Entah bagaimana caranya nanti aku mengembalikan uang lima puluh juta itu."
"Aku ini masih sahabatmu Di!" tiba-tiba Jauhari membentakku. Dari nadanya tampak menyiratkan kemarahan. Aku jadi serba salah. Aku baru sadar bahwa mungkin ucapanku tadi menyinggung perasaan sahabatku ini.
"Eee…Maksudku…"
"Aku mengerti perasaanmu Di," kali ini Jauhari kembali tersenyum dan melemah. "Uang itu tidak perlu kamu kembalikan. Bahkan kalau kau mau membantu aku…"
"Apa? Apa Jo? Apa yang bisa kubantu? Katakan padaku, pasti akan aku lakukan!" kupotong ucapan Jauhari dengan bersemangat. Kupikir jika memang ada cara untuk membalas semua kebaikan sahabatku ini aku harus segera melakukannya.
"Tentu…Tentu…. Aku sebenarnya saat ini memang memerlukan bantuanmu. Dan jika kau bersedia, aku bahkan akan menghadiahkan semua uang yang ada di dalam tas ini untukmu," Jauhari membuka koper kecilnya dan tampaklah gepok-gepok uang yang masih baru. Tentu uang itu baru saja diambil dari bank.
"Uang ini?"
"Memang ini cuma seratus juta rupiah. Ini baru uang muka. Setelah pekerjaanmu selesai kamu akan dapat tiga kali lipat lagi."
"Apa yang harus kukerjakan?"
"Kau hanya membantuku menyimpan barang-barang yang ku eksport dari Belanda. Hanya itu."
"Lalu barang-barang itu?"
"Nanti akan ada yang mengambilnya darimu."
"Maksudmu distributor? Barang apa Jo? Beras? Susu, Gula? Atau…"
"Ekstasi."
"Ha?! Ekstasi?!" aku tersentak, mataku mendelik. Aku meremas tepi meja sambil menengok kanan kiri. "Tidak…Tidak Jo…"
"Ha..ha..ha…Di…Di… Kamu masih saja seperti dulu. Dungu. Terlalu sok idealis."
"Aku berusaha istiqomah Jo."
"Heh…! Istiqomah dengan cara berhubungan dengan rentenir?" Jauhari tersenyum sinis.
"Kalau itu aku terpaksa!"
"Sekarangpun kau terpaksa! Apa kau ingin nekad mempertahankan kemiskinanmu ini? Apa kau sampai hati melihat istrimu tidak bisa berpakaian bagus seperti istri seniman lain? Dan kau tega anakmu diejek kawan-kawannya karena menunggak BP-3 dan sekolah dengan sepatu yang sudah berlobang?"
"Tidak Jo…Aku ingin mempertahankan harga diri seniman."
"Harga diri konyol !!!" Jauhari tersenyum penuh ejekan. Timbul juga rasa maluku. Apakah pantas aku menelantarkan anak dan Istri hanya karena mempertahankan harga diri? "Kau tak perlu meninggalkan duniamu sebagai seorang pengarang. Bahkan aku bisa membantumu mencari tambahan uang yang lebih banyak lagi lewat keahlianmu menulis cerita. Aku juga menerbitkan buku-buku 'blue'. Kau bisa menulis cerita yang digemari oleh kaum muda saat ini Di."
"Tapi!" aku mencoba membantah ucapan Jauhari, namun ia sudah berdiri dan bersiap meninggalkanku.
"Cukup! Aku tidak butuh bantahanmu Di. Sekarang kau pikirkan saja tawaranku ini baik-baik. Kutunggu kamu di hotel Bumi Indah kamar delapan puluh lima pada tiga hari yang akan datang. Dan ini, aku titip bingkisan buat istri dan anakmu," Jauhari menyerahkan selembar amplop yang tampaknya berisi uang sementara aku hanya terpaku tak mampu berucap apa-apa. "Selamat tinggal sahabat…"
Lidahku terasa kelu dan mulutkupun cuma membisu. Mataku hanya bisa melihat Jauhari pergi meninggalkanku yang tengah terpaku di tepi meja itu.
***
Pagi hari ini aku tak bersemangat. Beban batin yang kusandang sejak pertemuan dengan Jauhari sungguh membuatku bagai orang linglung.
Setelah mandi dan berpakaian rapi aku melangkah ke meja makan. Sebenarnya aku sangat malas untuk sarapan pagi ini. Selera makanku hilang. Namun demi menghargai istri tercinta yang rela bangun bersubuh-subuh menyiapkan semuanya, kucoba juga untuk menyuap nasi goreng yang sebenarnya adalah makanan kesukaanku seandainya suasana batin tidak sedang begini. Dengan dipaksakan kukunyah nasi goreng yang seolah tak berasa apa-apa.
"Nih, koran hari ini bang," ucap istriku sambil menyerahkan koran pagi. Diletakkannya koran itu di atas meja makan. Aku hanya melirik sekilas pada Koran itu kemudian tersenyum pada istriku. Lagi-lagi ini hanya untuk menghormati dan menghargai kesetiaannya memperhatikan segala keperluanku. Sungguh bagiku dia adalah wanita pilihan yang benar-benar seperti yang selama ini aku dambakan. Gambaran wanita shalehah yang ternyata dianugerahkan Allah kepada seorang miskin seperti aku ini. Meski tak punya harta benda, tapi bagiku dia adalah harta yang sangat berharga.
Tiba-tiba aku tersedak. Buru-buru kuraih segelas air dan kuminum hingga napasku sedikit lega. Kupelototi koran pagi itu dengan setengah tak percaya. Mataku membelalak saat melihat sebuah foto besar dengan headline berita bertuliskan: GEMBONG MAFIA JAUHARI ALIAS 'JO' TEWAS TERTEMBAK DI HOTEL BUMI INDAH.
***


0 komentar:

Posting Komentar