Tarian Sang Hudoq



LENGGAK-lenggok mahluk itu memang gemulai. Namun dibalik kelenturan geraknya sosok-sosok itu tak sedikitpun membawa kesan indah di mata Rasyid. Hentakan-hentakan musik yang mengiring tarian sang hudoq terus menggedor-gedor dada pemuda itu.
"Tidak!!!" batinnya berontak. " Aku sudah tak tahan lagi!"
Tapi kakinya terasa lemas. Persendian kakinya seolah lepas dan telapak kakinya seakan menempel erat di atas altar upacara. Rasyid hanya bisa terhenyak dan bersandar di kursi dengan keringat dingin yang makin deras menetes dari keningnya begitu belian yang ia bawakan telah usai.
"Kenapa kamu Syid?" tegur Mahmudin. Tampaknya kawan Rasyid itu telah memperhatikannya semenjak tadi. "Kamu harus bertahan beberapa saat. Tanpa kamu, upacara adat ini akan kacau."
Tanpa Rasyid upacara adat akan kacau? Ya, sebab Rasyid yang punya nama asli Ulaq Maho ini adalah keturunan Dayung Semiloq, dukun belian paling besar di Komunitas suku Mahabin. Meski kini ia telah memeluk agama Islam namun sebagai ahli waris orang tuanya yang menyandang gelar Balau Tangau, Rasyid punya kewajiban untuk memimpin setiap upacara adat.
***
Senja baru saja menggantikan sore. Semburat memerah masih terkuas rapi di ufuk timur dihiasi mega tipis berwarna sedikit gelap. Rasyid tercenung, duduk di tepi sungai Mahakam sambil matanya memandangi langit yang membara. Mungkin seperti itu pulalah keadaan batinnya saat ini. Batin itu membara, meradang, dan memerah. Dan mungkin tak lama lagi juga akan ikut menjadi hitam seiring dengan datangnya kepekatan malam yang gelap gulita.
Sejak memeluk Islam empat bulan lalu, Rasyid mulai merasakan benturan-benturan yang dulu sama sekali tak pernah dibayangkannya.
"Kami tidak melarang kamu untuk memeluk Islam," tutur pamannya. "Namun kami tak setuju jika kau hendak membuang dan mencampakkan adat kita. Itu namanya penghinaan. Pamali nak!"
"Tapi agama saya mengharamkan tradisi-tradisi seperti yang selama ini kita lakukan paman. Itu namanya syirik." Rasyid mencoba memberikan penjelasan.
"Ah! Kurasa tidak juga Rasyid. Itu hanya perasaan dan pemahamanmu yang kurang mengerti saja. Buktinya si Mahmudin. Meski dia pemeluk Islam, toh ia masih sering ikut upacara belian dan pemanggilan roh yang biasa kita adakan. Padahal dia itukan Islam sejak lahir, bukan orang baru seperti kamu" Paman Rasyid langsung memotong. Rupanya ia belum tahu jika orang yang baru masuk Islam itu disebut dengan Muallaf.
Ya, Mahmudin memang Islam sejak lahir sebab ia orang Kutai, Rasyid tahu itu. Tidak ada orang Kutai yang tidak beragama Islam. Rasyid juga tahu bahwa ayah Mahmudin di Tenggarong sana adalah seorang saudagar ikan asin yang sudah empat kali naik Haji. Tapi sang pamanlah yang tidak tahu bahwa semua itu bukan jaminan bahwa Mahmudin mengerti dan melaksanakan syariat Islam secara kaffah.
"Tapi paman..."
"Sudah! Paman tidak mau mendengar alasan-alasanmu." Paman Rasyid memotong ucapan kemenakannya dengan ketus, lalu pergi.
***
Rasyid menghentikan lamunanya. Segera ia berwudhu untuk melaksanakan shalat maghrib. Setelah itu sederet kegiatan sudah menunggunya. Ya, persiapan upacara adat malam ini memang lain dari biasanya. Kepala suku akan menyelenggarakan acara panjat syukur atas kemurahan rejeki yang diberikan oleh Sang Maha Agung. Tahun ini hasil panen mereka melimpah.
Dan sebagaimana kebiasaan sejak jaman nenek moyang, setiap selesai panen masyarakat adat selalu memberikan persembahan kepada para dewa dan arwah leluhur.
***
Halaman Lamin tampak terang benderang. Seratus dua puluh satu obor bambu dipasang berjajar di sepanjang pagar. Warga kampungpun sudah berjejal memadati lokasi. Beberapa ekor babi yang akan dijadikan hewan persembahan juga sudah diikat di tiang utama. Beberapa dayung pendamping sudah berbaris untuk melakukan beragam ritual.
Kepala Suku tampak tertawa-tawa bersama beberapa tokoh adat. Tak ketinggalan, hadir pula di sana Milau Bajo kawan sepermainan Rasyid sejak kecil. Serombongan penari yang terdiri dari sepuluh lelaki dan sepuluh wanita juga telah duduk di sebelah utara lamin bersebelahan dengan pemukul gong dan pemetik sampe.
Hari semakin malam, namun Rasyid alias Ulaq Maho yang semestinya akan memimpin ritual tak juga tiba. Setelah ditunggu beberapa jam ia tetap tak muncul. Kampung jadi heboh.
***
Empat Bulan Kemudian
Rasyid membuka pintu gubukknya. Sekejap sinar redup rembulan menyergap sosoknya yang perlahan keluar lalu duduk di depan tangga. Dipandanginya bayangan bulan yang memantul di air mahakan yang tenang, sementara hawa dingin dengan lembut membelai wajahnya.
Malam memang dingin, hawa memang cukup menusuk tulang, tapi di dalam hati dan dada rasyid hangat...Hangat sekali. Kehangatan yang selama ini belum pernah ia rasakan. Kehangatan yang ia peroleh meski harus terusir dari kampung karena dianggap melanggar dan melecehkan adat.
Ya... sejak ia mengucap dua kalimat syahadat dan tak mau lagi memimpin upacara penyembahan dan belian, Rasyid harus pergi meninggalkan kampung yang dicintainya, meninggalkan orang tua, paman,dan adik-adiknya, serta Milot Hare gadis yang selama ini menjadi tambatan hatinya.
Keputusan seorang Ulaq Maho bukan keputusan yang sederhana. Keputusan seorang Putra Dayung Semiloq yang sudah sangat bulat. Dakwah Ustadz Daeng Alimuddin, sedemikian menggugah kalbunya sehingga sinar Hidayah mampu menerobos. Maka dengan tekad yang bulat Ulaq Maho menyatakan kemuslimannya disaksikan para penghulu adat.
Sebenarnya dalam adat mereka tidak ada aturan yang bisa menghalangi Ulaq Maho untuk menjadi Muslim. Kepala Suku Mahabin bukan Kepala Suku yang otoriter dan melarang warganya memeluk kepercayaan diluar Kepercayaan adat leluhur, tapi ulah Milau Bajo lah yang menyebabkan Ulaq Maho terusir dari komunitasnya. Apalagi Milau Bajo bekerjasama dengan para misionaris yang dengan cara-cara yang sangat licik selalu menjelek-jelekkan pemuka suku yang memeluk agama Islam.
Milau Bajo memang selalu berusaha mencari cara untuk mengusir Ulaq Maho dari komunitas suku mereka, terutama menjauhkannya dari Milot Hare. Pemuda yang mulanya adalah sahabat Rasyid itulah yang menebar fitnah untuk menistakan Ulaq Maho yang kini telah bernama Khulafaur Rasyidin.
Ia menebar isyu bahwa Rasyid ingin menghancurkan kampung dan adat mereka, bekerja sama dengan orang-orang Bugis. Rasyid berusaha menjelaskan namun orang-orangnya Milau Bajo lebih banyak dan kompak. Dan kemudian keengganan Rasyid menggantikan almarhum bapaknya sebagai seorang dayung pemimpin ritual dijadikan pemicu tindakan pengusiran itu.
Sebenarnya Rasyid bukanlah satu-satunya pewaris Dayung Semiloq.Masih ada paman-pamannya yang menurut adat punya hak menggantikan kedudukan bapak Rasyid. Namun apa hendak dikata, Milau Bajo lebih dipercaya oleh Kepala Suku. Gara-gara mangkir pada upacara malam itu Rasyid pun harus rela menerima hukum adat, membayar denda dan terusir dari kampung halaman.
***
Rasyid menghela nafas dalam dan beranjak menuju tepi Mahakam.
"Yang kualami ini belum apa-apa. Banyak peristiwa yang lebih menyakitkan dirasakan oleh Rasulullah SAW ketika berdakwah dan harus berhijrah meninggalkan Makkah." Gumam Rasyid. Ia kemudian mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat Tahajjud.
Belum lagi tangan Rasyid menyentuh air Mahakam, dua buah bayangan tampak berkelebat. Naluri Rasyid bereaksi. Ia segera melompat ke sampinng dan berbalik dengan gerakan cepat. Hanya sekejapan mata kedua sosok itu telah ada dalam cengkeramannya.
"Ampun...Jangan sakiti kami..,"ujar bayangan di sebelah kiri yang tak lain adalah Mahmudin.
Rasyid terkejut, dipandanginya sekali lagi dengan cermat sosok itu. Ya, benar...Itu benar-benar Mahmudin. Dan yang satunya? Masya Allah...
"Kau..?" suara Rasyid terhenti.
"Ya, aku Milau Bajo,"sahut orang itu.
"Kami mencarimu Syid. Kami ingin mengajakmu kembali ke kampung untuk bersama-sama menyadarkan masyarakat kita," Mahmudin kembali bersuara.
"Tapi dia?" Rasyid menunjuk kepada Milau Bajo dengan raut wajah heran. Sementara Milau Bajo sendiri tampak salah tingkah.
"Tiga hari setelah kepergianmu, ia mengucap dua kalimat syahadat. Dialah yang mendesakku untuk mencarimu," jelas Mahmudin lagi.
"Diam-diam, sebenarnya aku sangat memperhatikan dakwah Ustadz Alimuddin. Dan...Setelah melalui pergulatan batin aku memutuskan untuk mengikuti jejak kalian di jalan Allah. Aku mengucap syahadat di hadapat Almarhum Ustadz Alimuddin, Syid," Milau Bajo menambahkan.
"Syukurlah," Rasyid tersenyum bahagia. "Eh! Tapi...Tadi kau menyebut Almarhum pada Ustadz Alimuddin. Maksudmu Al Mukarrom?"
"Tidak, Syid. Beliau memang telah Almarhum."
"Ha?!!" Rasyid tersentak laksana disengat lebah.
"Ya! Beliau syahid di ujung pistol para misionaris karena kesalahanku,"sahut Milau Bajo tertunduk. Perlahan butir demi-butir air menetes dari sudut matanya.
(***)

Keterangan:
Dayung= Dukun
Kisah ini hanya Fiktip Penamaan Orang, Tempat maupun Istilah hanya rekayasa penulis.


0 komentar:

Posting Komentar